Dahulu ada ada seorang
Raja mempunyai seorang Ahli Sihir. Setelah Ahli Sihir itu tua, ia meminta
kepada Raja agar mengirimkan orang pemuda untuk dikader menjadi ahli sihir.
Maka dikirimlah kepadanya seorang pemuda -menurut riwayat Ibnu Ishak di Sirah
Ibnu Hisyam, nama pemuda ini Abdullah bin Tsamir–.
Di tengah perjalanan
untuk belajar ilmu sihir, Pemuda itu berjumpa dengan seorang Rahib. Lalu duduk
sejenak dan mendengarkan kata-kata sang Rahib hingga ia tertarik. Maka sejak
itu setiap hari ia akan ke tempat Ahli Sihir, ia singgah terlebih dahulu ke tempat
sang Rahib untuk mendengarkan ilmu yang diberikannya. Akibatnya, si Pemuda
selalu terlambat tiba di tempat Ahli Sihir. Gurunya, si Ahli Sihir, menghukum
pukul si Pemuda atas keterlambatannya.
Si Pemuda menceritakan
kepada sang Rahib bahwa ia selalu dihukum guru sihirnya karena selalu
terlambat. Sang Rahib menyarankan, “Bilang kepadanya, engkau menyelesaikan
pekerjaan rumah dahulu. Kalau kamu takut dimarahi keluargamu karena pulang
terlambat, katakan kepada mereka ada pekerjaan dari guru sihirmu.”
Suatu ketika dalam
perjalanan si Pemuda bertemu dengan binatang yang sangat besar dan membuat
orang-orang takut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Sekarang saatnya aku
mencoba, siapakah yang lebih baik: Rahib atau Ahli Sihir.” Lalu ia mengambil
sebuah batu dan berucap, “Ya Allah, jika yang benar bagimu adalah Rahib dan
bukan Ahli Sihir, maka bunuhlah binatang itu agar orang-orang tidak terganggu.”
Ia lempar batu itu. Kena. Binatang itu mati.
Segera si Pemuda
menemui Rahib. Ia ceritakan semua peristiwa yang baru terjadi. Sang Rahib
berkata, “Anakku, hari ini engkau lebih baik dari aku. Engkau akan mendapat
cobaan. Janganlah engkau beritahu tentang aku.”
Bersamaan dengan
berjalannya waktu, si Pemuda memiliki keistimewaan. Ia mampu menyembuhkan
orang buta, mengobati penyakit kulit, dan berbagai penyakit lainnya.
Keahliannya ini sampai ke telinga seorang Pengawal Raja yang buta. Pengawal
Raja ini datang sambil membawa banyak hadiah. “Jika engkau mampu
menyembuhkanku, engkau mendapat hadiah yang istimewa,” katanya.
Si Pemuda menjawab,
“Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah
swt. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah swt.
menyembuhkanmu.”
Si Pengawal pun
beriman. Allah swt. menyembuhkan matanya. Pulanglah ia ke istana dan kembali
bertugas mendampingin Raja seperti biasa. Tentu saja Raja kaget. Pengawalnya
sudah tidak buta lagi.
“Siapa yang
menyembuhkanmu?” tanya Raja.
“Tuhanku,” jawab si
Pengawal.
“Apakah ada Tuhan
selain aku?” tanya Raja lagi.
“Tuhanku dan Tuhanmu
adalah Allah,” jawab si Pengawal.
Raja marah. Ia
memerintahkan pengawal-pengawalnya yang lain untuk menyiksa si Pengawal beriman
itu. Raja ingin tahu siapa orang di balik perubahan akidah Pengawalnya itu.
Maka tersebutlah nama si Pemuda.
Raja luar biasa murka.
Si pemuda dipanggil untuk menghadap. Raja berkata, “Wahai anak muda, sihirmu
telah mampu menyembuhkan orang buta dan orang yang terkena penyakit kulit.
Engkau juga mampu melakukan yang tak dapat diperbuat orang lain.”
Si Pemuda berkata,
“Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanya Allah
swt.”
Mendengar jawaban itu
Raja murka. Ia menyiksa Pemuda itu. Raja menyiksanya terus menerus hingga
tersebutlah nama sang Rahib sebagai guru si Pemuda. Raja memerintahkan
pengawal-pengawalnya untuk menangkap sang Rahib. Setelah sang Rahib berhasil di
hadirkan, Raja berkata, “Keluarlah dari agamamu!” Sang rahib menolak. Ia
dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua dari kepala hingga tubuh bagian
bawah.
Raja juga
memerintahkan Pengawalnya yang telah beriman untuk keluar dari keyakinan
barunya, “Keluarlah dari agamamu!’ Si Pengawal menolak. Ia pun dihukum gergaji.
Tubuhnya terbelah menjadi dua, dari kepala hingga ke tubuh bagian bawah.
Lalu Raja memanggil si
pemuda. “Keluarlah kamu dari agamamu!” Si Pemuda menolak. Raja menyuruh
beberapa pengawalnya membawa Pemuda itu ke atas gunung. “Jatuhkan dia dari
puncak gunung kalau dia tidak mau keluar dari keyakinannya.”
Setelah sampai di
puncak gunung si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.” Gunung
pun bergoyang. Para pengawal yang akan mengeksekusi si pemuda itu jatuh. Mati.
Si Pemuda yang selamat
datang kepada Raja. Raja heran, “Apa yang mereka perbuat kepadamu?” “Aku telah
diselamatkan oleh Allah swt.,” tegas si Pemuda.
Maka Raja
memerintahkan pengawalnya yang lain untuk membawa si Pemuda ke tengah laut.
Lemparkan jika ia tidak keluar dari agamanya, begitu perintah Raja. Ketika
sampai di tengah laut, si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.”
Tiba-tiba perahu oleng. Terbalik. Semua tewas tenggelam, kecuali si Pemuda.
Sekali lagi si Pemuda
menghadap Raja. Raja terkejut, “Apa yang terjadi?” Dengan tegas si Pemuda
berkata, “Allah membinasakan mereka dan menolong aku.” Lalu ia menambahkan,
“Engkau tidak akan bisa membunuhku kecuali engkau mengikuti saranku.”
“Apa itu?” tanya Raja.
“Kumpulkan rakyatmu di
sebuah lapangan luas dan engkau salib aku di sebatang kayu. Lalu panah aku
dengan busur milikku sambil kau ucapkan bismillah Rabb ghulam, dengan nama
Allah Tuhan pemuda ini. Jika engkau lakukan itu, engkau akan berhasil
membunuhku.”
Raja pun melakukan apa
yang disarankan si Pemuda. “Bismillah Rabb ghulam,” ucap Raja. Panah pun
meluncur. Tepat menembus pelipis si pemuda. Si pemuda meletakkan tangannya di
pelipis yang terkena anak panah. Ia pun menghembuskan nafas terakhir.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu berkata, “Kami beriman kepada
Tuhannya pemuda ini.”
Seseorang berkata
kepada Raja, “Tidakkah engkau saksikan apa yang engkau khawatirkan? Orang-orang
telah beriman kepada Tuhannya pemuda itu.”
Raja murka luar biasa.
Ia memerintahkah tentaranya membuat parit lalu mengisi parit itu dengan api
yang membakar. “Yang tetap beriman kepada Tuhannya pemuda itu, ceburkan ke
dalam parit itu!” titah Raja terucap. Maka, satu per satu orang-orang
yang beriman kepada Tuhannya si Pemuda diceburkan ke dalam parit berapi itu.
Sampai giliran seorang wanita yang menggendong anaknya. Ia ragu untuk mencebut
ke dalam kobaran api. Anaknya berkata, “Wahai ibu, sabarlah. Lakukan, engkau
berada dalam kebenaran.”
Begitulah, kisah
orang-orang yang beriman sebelum kita. Rasulullah saw. menceritakannya kepada
kita seperti yang diriwayatkan Muslim (3005), Tirmidzi (3340), Ahmad (6/17,
18), Nasa’i (11661), Ibnu Hibban (873), Tharani (7319), Ibnu Abi Ashim (287).
Mereka telah membuktikan kebenaran iman mereka. Dan pasti akan tiba giliran
kita untuk diuji? Semoga Allah swt. mengokohkan iman di hati kita apa pun yang
terjadi. Amin.
Dalam Sirah Ibnu
Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, dan Mu’jam Al-Buldan disebutkan, jenazah Pemuda ini
ditemukan di zaman Khalifah Umar bin Khaththab. Jari si Pemuda tetap berada di
pelipisnya seperti ketika ia dibunuh. Penemuan ini terjadi saat seorang
penduduk Najran menggali lobang untuk suatu keperluan. Ketika tangan si Pemuda
ditarik dan dijauhkan dari pelipisnya, darah memancar dari luka panas. Jika
tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah itu berhenti mengalir. Di
tangan si Pemuda tertulis kata-kata Rabbku adalah Allah. Mendengar kabar itu,
Umar bin Khaththab memerintahkan agar jasad di Pemuda dibiarkan seperti semula.
Ibnu Katsir berkata,
“Kisah itu terjadi antara masa Isa bin Maryam a.s. dengan Rasul Muhammad saw.,
dan ini lebih mendekati. Wallahu a’lam.”
sumber :iloveALLAH indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar